Wednesday, May 30, 2012

Meski rokok dengan kandungan rendah tar menjadi lazim di China, dampak merokok tetap saja Bunuh Rakyat China


Meski rokok dengan kandungan rendah tar menjadi lazim di China, dampak merokok tetap saja Bunuh Rakyat China


Meski rokok dengan kandungan rendah tar menjadi lazim di China, angka kematian dampak merokok tetap saja menjulang. Kementerian Kesehatan China sebagaimana warta Xinhua pada Rabu (30/5/2012), memaparkan, sampai dengan 2050, ada 3 juta warga China tiap tahunnya meninggal lantaran dampak merokok.


Saat ini tiga perempat jumlah warga China tak peduli soal bahaya merokok. Sementara itu, dua per tiga dari rakyat China tidak begitu mafhum soal bahaya yang mengancam perokok pasif.

Otoritas itu juga mencatat, rokok yang mendapat tambahan ramuan obat herbal China tetap berbahaya bagi kesehatan. "Mayoritas warga China bahkan mengalami salah persepsi lantaran idiom rendah tar sama artinya dengan rendah risiko," kata kementerian itu.

Saat ini, tiga perempat jumlah warga China tak peduli soal bahaya merokok. Sementara itu, dua per tiga dari rakyat China tidak begitu mafhum soal bahaya yang mengancam perokok pasif.

Sekarang, China adalah produsen sekaligus konsumen rokok terbesar di dunia. Ada lebih dari 300 juta perokok aktif. Lalu, lebih banyak lagi perokok pasif di Negeri Tirai Bambu. Jumlahnya 740 juta orang.

Rokok sebagai salah satu "mesin pembunuh" diperkirakan telah menyebabkan kematian 300.000 orang per tahun di Indonesia, sedangkan di dunia diperkirakan jumlah itu meningkat menjadi 5,4 juta kematian per tahun atau 1 kematian tiap 6,5 detik.

"Lebih dari 80 persen perokok ada di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010 menunjukkan prevalensi perokok adalah sebesar 34,7 persen," ujar Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng di Jakarta, seperti dilansir Antara, Selasa (29/5/2012).

Rokok yang setiap batangnya mengandung lebih dari 4.000 jenis racun merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit, di mana nikotin diketahui berkontribusi terhadap kanker paru-paru, hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, infertilitas pria, dan juga terhadap terjadinya disfungsi ereksi.

Prevalensi perokok di Indonesia sendiri tidak banyak berubah dari data Riskesdas tahun 2007 yang mencatat prevalensi perokok sebesar 33,4 persen. Namun, perhatian besar diberikan terhadap meningkatnya jumlah perokok remaja seperti dalam survei yang dilakukan Global Youth Tobacco Survey 2009 yang menunjukkan bahwa 20,3 persen pelajar SMP sudah merokok.

Dibandingkan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1995, jumlah perokok remaja naik lebih dari dua kali lipat dimana peningkatan perokok pada remaja perempuan meningkat lebih pesat dibandingkan perokok remaja perempuan.

Jumlah perokok anak juga naik enam kali lipat dalam 12 tahun yaitu 71.126 anak pada 1995 menjadi 426.214 anak pada 2007.       Pemerintah, disebut Ekowati telah mengeluarkan kebijakan pengendalian rokok di Indonesia antara lain melalui UU No.36/2009 tentang Kesehatan.

"Di UU Kesehatan, pasal 113 mengatur mengenai pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif dan pasal 114 tentang peringatan kesehatan dan pasal 115 mengenai kawasan tanpa rokok," kata Ekowati merinci.

Namun peraturan pemerintah pendukungnya yaitu RPP Pengendalian Dampak Produk Tembakau yang telah dibahas sejak munculnya UU tersebut hingga kini belum juga disahkan oleh Presiden.

Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan Asril Rusli sebelumnya mengatakan RPP tersebut telah selesai pembahasannya dan tinggal menunggu disahkan, bahkan telah diagendakan dalam rapat terbatas kabinet dengan presiden namun belum juga disahkan.

 Satu lagi peringatan untuk para pencandu rokok serta mereka yang hidup atau tinggal bersama para perokok aktif. Riset teranyar mengindikasikan, orang yang tidak merokok tetapi menerima paparan asap rokok tingkat rendah selama sekitar 30 menit, mengalami kerusakan yang signifikan pada lapisan pembuluh darah.

Temuan ini memiliki implikasi besar bagi kesehatan masyarakat karena kerusakan yang dihasilkan oleh asap rokok terkait dengan aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), yang dapat memicu serangan jantung atau stroke.

"Menghirup asap rokok sekunder (secondhand smoke) dalam tingkat yang sangat rendah—jumlahnya sama yang dihadapi orang tua dan anak-anak dalam komunitas—tampak menimbulkan kerusakan pada salah satu  fungsi pembuluh darah setelah hanya 30 menit paparan," ujar peneliti utama  Dr Paul Frey dari divisi kardiologi di San Francisco General Hospital, dalam sebuah rilis berita American College of Cardiology.

"Temuan ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat," tambah Frey. "Kami melihat penurunan yang begitu tajam pada fungsi vaskular meski seeorang hanya menerima paparan yang sangat singkat dan itu sangat memprihatinkan," jelasnya.

Dalam kajiannya, peneliti menggunakan mesin merokok untuk menghasilkan konsentrasi partikulat tertentu dan diukur dampaknya pada 33 partisipan sehat yang tidak merokok (perokok pasif) mulai usia 18-40 tahun. Para perokok dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tiga tingkat paparan. Tiga tingkat tersebut adalah udara bersih; tingkat lebih rendah dari asap tersisa ditemukan di rumah perokok atau restoran, dan tingkat tinggi yang ditemukan di sebuah bar berasap atau kasino.

"Kami mampu secara tepat mengarakterisasi konsentrasi perokok pasif dan melihat seberapa besar tingkat paparan yang sangat rendah dapat memengaruhi kesehatan yang sebelumnya tidak pernah diteliti," jelas Frey.

Rencananya temuan ini akan dipublikasikan pada 22 Mei 2012 dalam Journal of the American College of Cardiology.

Hasil temuan mengungkapkan bahwa pembuluh darah utama yang ditemukan di lengan atas (disebut arteri brakialis) berisiko mengalami penyempitan pada mereka yang terkena paparan asap rokok sekunder alias menjadi perokok pasif.  Hal ini terjadi akibat lapisan dalam pembuluh darah tidak berfungsi sebagaimana semestinya.

Peneliti menegaskan perlunya suatu kebijakan yang lebih komprehensif untuk melarang orang agar tidak merokok di tempat umum. Mereka juga menyarankan kepada setiap dokter untuk berbicara dengan pasien mereka apakah tinggal dengan perokok atau tidak.

"Merokok merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dicegah untuk penyakit jantung," kata Frey. "Kami berharap penelitian ini akan menyentuh para perokok agar menghentikan kebiasaan buruk mereka. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjaga kesehatan jantung mereka sendiri, tetapi juga kesehatan orang yang ada di sekitar mereka," tutupnya.

Meskipun studi ini menemukan hubungan antara asap rokok dan kerusakan pembuluh darah, hal itu tidak membuktikan hubungan sebab-akibat.

Merokok adalah kebiasaan buruk yang mengancam kesehatan jantung dan pembuluh darah. Penelitian terbaru menunjukkan, rokok meningkatkan risiko terkena stroke, dan ancaman terbesar ada pada mereka yang menghisap rokok mentol.

Seperti dimuat dalam jurnal Archives of Internal Medicine, peneliti menyatakan bahwa mereka yang memilih rokok mentol cenderung berisiko lebih besar terkena stroke ketimbang penghisap rokok non-mentol. Menurut studi para ilmuwan Kanada ini, risiko stroke yang lebih nyata ditemukan pada perokok mentol perempuan dan mereka dari keturunan non-Afrika.
   
Penulis studi itu pun menyarankan agar rokok mentol benar-benar dihindari guna menekan risiko stroke. Satu hal penting, semua jenis rokok haruslah dihindari karena dapat menimbulkan risiko penyakit.

"Semuanya memang buruk, semuanya sudah dikatakan. Dari perspektif reduksi bahaya, studi ini menyarankan untuk menghindari rokok, setidaknya jenis mentol," kata Nicholas Vozoris, petugas klinik di St Michael’s Hospital di Toronto, Kanada.

Dalam studinya, Vozoris menggunakan informasi yang diambil dari survei gaya hidup dan kesehatan yang mencakup 5.028 perokok dewasa. Survei itu dilakukan antara 2001 dan 2008. Secara keseluruhan, sebanyak 26 persen responden menyatakan bahwa mereka biasa menghisap rokok mentol, dan sisanya menghisap rokok non-mentol.

Beberapa ahli berpendapat, mentol mempermudah orang untuk mulai belajar merokok dan lebih sulit untuk berhenti karena rasanya menyamarkan kerasnya aroma tembakau.

Di antara penghisap rokok mentol, sebanyak 3,4 persen mengatakan mereka pernah menderita stroke. Sementara itu, sebanyak 2,7 persen perokok tanpa mentol terserang stroke.

Setelah memperhitungkan beberapa faktor seperti jenis kelamin, suku, dan usia perokok, serta jumlah rokok yang dihisap, Vozoris menyimpulkan bahwa penghisap rokok mentol berisiko dua kali lipat terkena stroke dibandingkan mereka yang merokok non-mentol. Perbedaan tersebut sangat jelas pada kaum perempuan dan perokok dari suku selain Afro-Amerika.

Di antara peserta studi, stroke tiga kali lebih umum ditemukan di kalangan penghisap rokok mentol. Walau begitu, Vozoris mengatakan studi tersebut tak bisa membuktikan rokok mentol saja mengakibatkan peningkatan risiko stroke, dan bukan perbedaan tak terukur antara penghisap rokok mentol dan tanpa mentol.

Studi tersebut juga menyatakan, rokok mentol tidak berkaitan dengan peningkatan risiko tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru kronis, ataupun serangan jantung, dibandingkan dengan rokok standar.

Presiden American Heart Association (AHA) dan Direktur Bagian Kardiologi di Johns Hopkins University School of Medicine Gordon Tomaselli berpendapat, studi tersebut telah memperlihatkan keterkaitan antara kebiasaan merokok mentol dan risiko stroke, tetapi tidak berhubungan dengan tekanan darah tinggi.

Menurut Vozoris, mungkin saja kandungan mentol pada asap rokok memiliki efek yang lebih buruk pada pembuluh darah, terutama pembuluh yang memasok oksigen ke otak.


oleh: Irwan Julianto
Tiga hari sebelum Noor Atika Hasanah meninggal dunia pada 30 Desember 2010 akibat bronchopneumonia duplex, ia masih sempat menulis di akun Twitter-nya, ”Bagi para ortu perokok, aku mohon banget supaya ngerokok sejauh mungkin dari anaknya supaya jauh dari kemungkinan kena flek paru.”

Perempuan kelahiran 8 November 1982 yang biasa disapa sebagai Tika ini meninggal akibat menjadi perokok pasif. Di jejaring sosial, ia mengaku bahwa dirinya tidak merokok dan ia adalah korban asap perokok lain. Walau ia telah didiagnosis dokter mengalami flek paru yang parah (bronchopneumonia duplex), ia tetap tegar. Di Twitter-nya tanggal 24 Desember 2010 ia menulis, ”Well, hello Bronchopneumonia Duplex! I’m not afraid of you!”

Dua hari sebelumnya, Tika lewat Twitter-nya, @tikuyuz, menyatakan harapannya, ”Bismillah... Semoga berat badanku bisa lekas kembali normal dari yang sekarang cuma 35 kg. Syukur- syukur lebih berat dari normal.” Berat normalnya 42 kg. Penyakitnya membuatnya bukan hanya kehilangan berat badan, melainkan juga sering menderita sesak napas, batuk keras, dan pilek. Sepuluh jam sebelum meninggal, Tika masih sempat menyebarkan kabar lewat Twitter untuk terakhir kalinya, ”Spent 1 night here, now waiting for the infection result (@ RS. PROF. DR SULIANTO SAROSO).”

Kisah saat-saat terakhir kehidupan Tika dapat dibaca di beberapa tautan dan diunduh di Google.
Kisah yang tak kalah tragis dibandingkan dengan Tika adalah nasib yang menimpa Khasidoh, perempuan muda berusia 25 tahun. Ia menderita kanker paru karena menjadi perokok pasif. Ayah dan kakeknya adalah perokok berat. Ibu seorang anak berusia empat bulan ini meninggal tak lama setelah diwawancara Geoff Thompson, wartawan televisi ABC dari Australia ketika ia dirawat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, tahun 2009. Film dokumenter karya Thompson berjudul 80 Million Smokers Everyday in Indonesia dapat disaksikan di http://www.abc.net.au/foreign/content/2009/s2673 564.htm.

Ayah Khasidoh berhasil diwawancara Thompson. Ia mengaku amat menyesal karena menjadi penyebab kematian Khasidoh. Khasidoh dan Tika adalah contoh dua korban sebagai perokok pasif yang mereka alami sejak kanak-kanak.

Dua kisah di atas adalah bukti nyata bahwa merokok pasif tak kalah berbahaya dibandingkan dengan merokok aktif. Dampak konsumsi tembakau atau rokok telah banyak diketahui masyarakat walaupun mati-matian dibantah oleh industri rokok dan para pembela fanatik rokok.

Di Indonesia saat ini diperkirakan terjadi sekitar 400.000 kematian setiap tahun yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rokok. Sebanyak 25.000 kasus di antaranya terjadi pada mereka yang tak pernah merokok sama sekali, seperti Tika dan Khasidoh.

Diperkirakan sekitar 70 persen pria dewasa di Indonesia adalah perokok. Merokok telah menjadi gaya hidup dan habitus. Thompson dan Christofer Putzel lewat filmnya, Sex, Lies and Cigarettes (2011), tentang kebiasaan merokok di Indonesia mendokumentasikan dampak menyedihkan kebiasaan merokok. Dampak itu antara lain banyaknya kasus gangguan pernapasan kronis dan kanker paru di kalangan perokok aktif dan pasif di Indonesia. Indonesia tak dapat disangkal menjadi ”surga” bagi perokok dan industri rokok.

Di Indonesia, iklan dan promosi rokok amat leluasa dan masif. Masyarakat dan pemerintah amat permisif terhadap para perokok. Walau di sejumlah daerah merokok di tempat-tempat umum dilarang oleh peraturan daerah, dalam kenyataan peraturan-peraturan itu tidak efektif.

Perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan Nomor 57/PUU-IX/2011, yang diumumkan Selasa (17/4), mewajibkan perkantoran dan pertokoan menyediakan ruangan khusus untuk perokok. Putusan ini tentu dapat ditafsirkan bermacam- macam. Pertama, perokok aktif seolah dibatasi, tetapi justru diberi hak istimewa tetap boleh merokok di dalam gedung walau di dalam ruangan khusus. Kedua, majelis hakim MK tampaknya tak paham perkembangan terakhir di dunia bahwa gedung- gedung yang ruangannya tertutup seharusnya menjadi kawasan tanpa rokok total mengingat asap rokok di ruang khusus merokok dapat menerobos lewat plafon dan saluran AC sentral ke ruang lain.

Hak hidup mereka yang bukan perokok seyogianya diutamakan. Sayang sekali, majelis hakim MK tak paham beda antara asap utama (mainstream smoke) dan asap sampingan (sidestream smoke) dari ujung rokok yang terbakar tetapi tidak sedang diisap. Asap sampingan tiga kali lebih beracun dan lebih karsinogenik daripada asap utama. Karena itu, pembuatan ruang khusus merokok tidak memberikan perlindungan penuh kepada mereka yang bukan perokok.

sumber: http://internasional.kompas.com/read/2012/04/24/06424660/Hargai.Hak.Hidup.Perokok.Pasif

No comments:

Post a Comment